Selasa, 28 September 2010

Petani Indonesia Masih Miskin, Siapa Peduli? (bag.1)

Dikutip dari kuliah Pancasila FT UGM, 21 September 2010. 
 Sumber gambar : antara-sumbar.com

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mencapai 5-6%. Angka tersebut merupakan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Amerika saja, pertumbuhan ekonominya hanya berkisar 1 sampai 2 persen. Hal ini boleh jadi suatu awal yang baik untuk Indonesia ke depan.

Bagaimana bisa?
Setiap pertumbuhan 1 %, di suatu negara dipastikan akan tersedia 300.000 lapangan pekerjaan. Hal ini menjadi cerminan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar. Rakyat yang jumlahnya mencapai hitungan juta, sudah sangat wajar bila memang seharusnya lapangan kerja yang tersedia begitu banyaknya.

Menjadi masalah ketika pertumbuhan ekonomi yang sedemikian hebatnya tidak dirasakan masyarakat? Buktinya, sampai saat ini, mereka masih banyak yang miskin dan masih banyak yang menganggur. Ketika sekilas melihat tayangan berita di televisi atau dalam tayangan dokumenter Indonesia dalam Infografik atau menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri, melihat rumah-rumah kumuh di pinggiran kota, di pinggiran sungai, di bawah jembatan tol atau kereta api. Masih banyak yang nekat meminta-minta di perempatan jalan. Padahal dia sudah tahu sendiri, minta-minta itu merupakan perbuatan yang dihinakan oleh Allah.
 

Lalu, apanya yang salah? 
Ternyata, pertumbuhan ekonomi itu hanya dirasakan oleh sebagian kecil rakyat Indonesia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan bisa naik berlipat ganda keuntungan yang didapatnya. Tetapi keuntungan itu hanya dirasakan oleh sang pemilik perusahaan. Buruh perusahaan masih saja bergaji sama. Padahal sang boss tentu tidak buta akan hal itu. Semisal, perusahaan rokok di Kudus. Para buruh mendapat gaji yang masih rendah, sedangkan hasil dari penjualan rokok sudah terbayang dalam benak kita. Hitungannya bukan 1-2 juta, tapi milyar!

Kondisi seperti ini akan menyebabkan angka kemiskinan tetap bahkan akan cenderung tambah. Jadi, sebenarnya seukuran apa yang dijadikan standar rakyat itu miskin atau bukan? 

Angka penghasilannya? 
Menurut standar internasional, orang dikatakan miskin jika pendapatan per orang adalah $1 perhari. Perhitungannya, misal ada satu keluarga : 1 ayah, 1 ibu, 2 anak. Ibu dan anaknya tidak bekerja. Maka pendapatan ayah 'agar bisa' disebut keluarga miskin adalah $4 (senilai Rp 40.000,00). Jadi bisa dibayangkan jika ada yang mengatakan, Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan, perlu ditinjau ulang. Memang, banyak sekali rakyat yang pendapatan seharinya sekitar 5000 rupiah (kurang dari $1). Namun, untuk seukuran buruh pabrik, setiap hari rata-rata berpenghasilan Rp 50.000,00. Dan ukuran itu sudah cukup dan sudah melebihi di atas garis kemiskinan. Artinya, keluarga itu tergolong masyarakat menengah ke atas. 

Lalu, buruh apa yang masih miskin? 
Jawabannya adalah buruh tani. Mengapa? Karena mereka memang digaji dengan standar yang sangat rendah. Kerjanya cukup melelahkan di bawah terik matahari dan kubangan lumpur sawah. Sudah gajinya sangat minim, tidak menentu pula. Artinya, buruh tani itu tergolong musiman. Biasanya, buruh tani banyak dipakai untuk tandur (menanam padi saat musim tanam padi).
"Jadi, jika ada penyaluran santunan itu lebih tepat ditujukan kepada buruh tani saja! Mereka jelas2 membutuhkan!"
---(bersambung ke Petani Indonesia Masih Miskin, Siapa Peduli? (bag.2))---

10 komentar:

  1. pertamax...
    minyak tanah mahal soale..(padahal mahalan pertamax)jadi buat makan sehari2 juga mahal..jadilah taraf kehidupan nggak naek2..(unsure)
    padahal Indonesia banyak minyaknya..tapi dijual murah dan dibeli lagi dengan mahal..jadi?siapa yang sebenarnya miskin(ilmu)?

    BalasHapus
  2. kebetulan saya sedang mencari bahan untuk menjawab pertanyaan 'mengapa Indonesia masih mengimpor beras?'
    terima kasih banyak, sumber yang bermanfaat :)
    saya tertarik dengan standar pendapatan miskin.
    apa benar memang cocok jika itu dijadikan patokan di Indonesia
    terima kasih :)

    BalasHapus
  3. Ironis ya.. tapi kita juga butuh mereka loh. coba buruh tani semuanya pada milih jadi karyawan, biar gajinya gede.. jelas kita ntar akan kelaparan laah. eh Yan, dirimu dah follow back blogku belum sih?.. *kesannya rada maksa*

    BalasHapus
  4. malaysia menggunakan kebijakan pajakny dgn zakat,,cara pengelolaan mereka lbh bagus..hal itu malah dpt mengurangi jumlah kemiskinan..sedangkan kita indonesia yg mayoritas muslim penggunaan kebijakan pajak masih carut-marut..lalu bagaimana??

    BalasHapus
  5. wow, makasih semuanya. Baru beberapa menit ngepost, iklan bentar, yg ngomen bejibun (padahal baru empat ya? Gak papa lah, pokoknya sip yang sudah komentar).

    @ iksan : itu juga bener. Jadi, emang petani indonesia harus berwawasan luas (berilmu). Jangan sampai ngikut arus aja. Besok ini aku bahas di bagian kedua ya.

    @ Idry : Sip! Semoga bermanfaat. Ini sekadar ide. Realisasinya juga belum tau bagaimana. Setidaknya ide ini cukup realistis. (duh, bingung ya? ya pokoknya gitu lah, :D)

    @ Mas Yoga : Iya mas, emang bukan njuk jadi karyawan semua. Hanya saja, ini ada beberapa faktor yang menyebabkan masih miskinnya mereka. Apresiasi dari konsumen dan pemerintah masih kurang. Perhitungan pasar juga nggak matang babar blas. Jadi semua konslet. Besok saya bahas di bagian kedua ya mas.

    @ Iphonk : bisa di adopsi tuh. Kan boleh 3 A : Adapt, Adept, Adopt. Boleh fan. Caranya bilang ke pemerintah? minimal pemerintah daerah?

    BalasHapus
  6. pelan2 yan..lgpl skrg udh bnyk badan pngelola zakat d indonesia,,jika pengelolaany bnr dan tdk dimanfaatkan org utk hal2 jelek mungkin smkn lama badan zakat bs jd tmpt yg dipercaya orang2..jika para atasan bs berfikir jauh mungkin hal itu akan terlaksana..klo utk diri kita sendiri belajar ttg zakat..bagaimana bs berkembang klo dr diri kita sendiri tidak mau belajar..

    BalasHapus
  7. @ iphonk : aku tau maksudmu. Syariah dan Muamalah Islam mengatur ke arah baik kan? Ok, let's start from us!

    BalasHapus
  8. saya ingin mengomentari buruh pabrik yang berpenghasilan rata2 50rb dianggap masuk kelas menengah ke atas.

    saya mencoba menghitung. pendapatan sebulan : 50rb*30=1jt500rb
    penggunaan :

    1. biaya makan. sekarang sekali makan perorang 3000 itu udah mepet bangettt (bahkan kalau masih ad). 3000x4orangx3 kali seharix30hari=1.080.000
    2. anak gak mungkin ga dikasih uang jajan.
    misal: peranak sehari 3rb rupiah(dah mepet banget itu).
    3000x2x30 = 180.000
    3. beli bensin. misal sehari 1 liter.
    5000x30=150.000
    4. buat bayar listrik. standar kecil aja yah.
    perbulan 80.000
    total=1.490.000
    cuma bisa dipake buat bayar itu tok.. belum kalo ad keluarga sakit, belum lagi buat bayar kontrakan, bayar sekolah, beli buku, buat hal2 sepele kaya parkir, pulsa, dll....

    so, menurutku mengingat tingginya biaya hidup, menurutku Indonesia masih pantas dikatakan dibawah garis kemiskinan .karena dengan gaji segitu juga masih belum bisa hidup ala "kelas menengah ke atas"

    sori kalo komen2 ga penting. hehe
    *nice blog.

    BalasHapus
  9. @ Nimas : Sip! Kritis2. Tapi ada beberapa hal yang akan aku sanggah juga.

    Pertama, aku menyoroti perhari tuh, bukan perbulan. Jadi hitungannya nggak perbulan jadi setelah anggaran yg kamu sodorkan itu masing2 dibagi 30 hari dan dijumlah maka hasilnya sekitar 50ribu. Memang sih, itu suangat mepet. Emang itu belum dihitung kalau ada keluarga yang sakit, meninggal, ada hajat tertentu.

    Kedua, pernyataan bahwa standar internasional garis kemiskinan ialah 1 dollar. Jadi kalau dihitung secara kotor, petani Indonesia memang tidak miskin. Tetapi gaya hidupnya lah yang menginginkan standar yang tinggi.

    Itulah mengapa, kondisi standar internasional dengan memang tidak berlaku secara realitas. Karena pada setiap negara, masalahnya beda-beda. Bayangkan saja, kurs Rupiah terhadap Dollar. Kemudian, perhitungan pengeluaran keluarga hitungannya rupiah, bukan dollar, sehingga memang terlihat nggak pas. Kesimpulannya, masyarakat petani kita tetap terkategori miskin.

    BalasHapus
  10. Ya itulah Yan, memang kita tidak hanya butuh sistem kelola pertanian yang bagus, pemasaran yang cerdas, dan kemampuan teknis yang maknyus.

    Pada akhirnya kesejahteraan buruh tani kita tergantung dengan mentalitas petaninya juga. Mungkin suatu saat Yan berminat membeli beberapa petak sawah untuk dikelola sendiri, dengan niat menyejahterakan? Aku dukung deh, hha

    nais posting Yan..

    BalasHapus

Silakan berkomentar yang sehat