Kamis, 30 September 2010

Petani Indonesia Masih Miskin, Siapa Peduli? (bag.2-selesai)



Separuh lebih orang miskin adalah petani (tapi kadang2 ada juga petani yang punya mobil bejibun :D). Kondisi ini diperparah dengan sempitnya lahan tanam dan statusnya sebagai buruh. Padahal jika dilihat dari kacamata profesi, pekerjaan ini berasal dari nenek moyang. Dilihat dari sumber daya manusia, seharusnya petani saat ini harus lebih profesional. Artinya, jika profesi ini turun-temurun, harusnya ada banyak perkembangan dan peningkatan dari kualitas dan kuantitas. Namun ada saja pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Jika SDM dan SDA pertanian sudah memadai, tetapi hasilnya masih rendah, pasti ada masalah.

Ada apa?
Saat ini, melalui pengamatan saya, orientasi para petani adalah masalah kuantitas hasil produksi. Mereka tidak melihat pasar. Sehingga harga yang seharusnya ditentukan mereka, malah ditentukan pasar atau konsumen. Contoh yang nyata adalah kasus tingginya harga cabai tempo hari. Saat itu, cabai tengah hangat diperbincangkan sebagai suatu hasil produksi pertanian yang langka. Buktinya, permintaan (demand) relatif tetap namun persediaan (supply) menurun. Akibatnya harga melambung sangat tinggi. Benar-benar diluar jangkauan. Kalau tidak salah, satu kilo cabai merah seharga 50 ribu rupiah ya? Saat itu, para petani benar-benar menjadi bersemangat. Mereka kemudian beramai-ramai menanam cabe.

Pada saatnya memanen, hampir semua petani menghasilkan cabai merah. Efeknya, di pasar, cabai merah bertebaran dimana-mana. Sehingga harga cabai merah jatuh lagi. Melihat pengalaman seperti ini, para petani mengeluh setelahnya, "Wah, tahun/musim depan, aku nggak nanam cabai lagi ah. Buktinya aku rugi saat ini. Ternyata cabai nggak laku-laku amat!" - ekstrimnya, sang petani sampai 'berjanji' nggak nanam cabe lagi.

Hasilnya pada musim depannya, karena banyak petani yang berpikiran seperti itu tadi, maka cabe merah dapat dipastikan akan melambung tinggi lagi harganya. Dan para petani akhirnya beramai-ramai lagi menanam. Lalu setelah musim panen, cabe merah turun drastis lagi harganya akibat banyaknya barang di pasar. Begitu seterusnya kasus ini berulang tanpa disadari banyak petani kita.

Lalu, apa hubungannya dengan kemiskinan mereka?

Jelas terlihat bahwa petani kita kurang bisa membaca pasar. Artinya, mereka kurang berpendidikan, kurang wawasan. Bandingkan dengan orang pendidikan di bidang pertanian. Mereka tahu mana strategi pertanian yang pas. Sehingga para petani sering dimanfaatkan oleh profesi lain. Jadi, kesimpulan awal adalah para petani harus bisa mengontrol pasar dan konsumen. Salah satu jalan ekstrim adalah menimbun hasil produksi sehingga di jumlah barang di pasar dapat dikontrol. Dengan demikian secara teoritis, para petani akan mampu mempermainkan harga di pasaran.

Tetapi apakah bisa?
Sekarang muncul lagi masalah baru. Seiring jatuhnya barang produksi petani pribumi, muncul barang impor seperti beras yang tak kalah murahnya. Mengapa bisa? Mengapa barang impor justru murah? Bukannya harusnya mahalnya bukan main? Karena biaya transportasinya dan bea cukainya? Jawabannya hanya satu. Mereka (distributor beras asing) dengan mahirnya memanajemen perputaran barang. Mereka tidak menimbun di pelabuhan. Jika barang impor itu 'menginap' untuk beberapa hari atau bulan ke depan di pelabuhan, maka akan dikenai charge (biaya denda) yang tidak murah. Selain itu, barangnya juga akan mengalami penurunan kualitas. Entah busuk atau kisut.

Nah, penjelasan ini bisa sebagai jawaban pertanyaan awal tadi, mengapa petani tidak menimbung hasil produksinya saja dan apakah bisa.

Lalu langkah apalagi yang bisa menjadi solusi?
Masalah saat ini, para petani tidak bisa memenuhi kualitas yang diinginkan konsumen. Sekarang ada namanya Mentimun Jepang. Luar biasa. Para petani jepang memang mengemasnya menjadi barang superior dan prestisius bagi dunia kuliner dan chef. Timun Jepang berdiameter kecil dan panjangnya tertentu. Panjang mentimun ini ditentukan sendiri oleh penghasilnya. Panjangnya berapa harus standar. Kalau tidak memenuhi standar, mentimun akan 'dieksekusi' sebagai makanan hewan ternak. Kalau lolos seleksi, waw, harganya minta ampun. Aku lupa, satu buah apa satu kilo gitu harganya mencapai 30 ribu. Harga tinggi untuk kelas timun. Belum tomatnya, belum cabainya, belum kubisnya, belum hasil lautnya kayak ikannya. Wah, wah, wah. Bisa membayangkan, bahwa petani jepang berwawasan sangat luas!

So what?
Ya itu tadi. Ini masalah pengelolaan sebenarnya. Perencanaan sampai pemasaran harus dipikir sejak dini. Harus bisa, para petani kita untuk berpikir prospektif. Jangan berpikir terlalu pendek. Kalau pikiran pendek ya kayak kasus cabai kita tadi. Kok saya pakai 'kita' ya? Ya karena kita termasuk penanggung jawab secara tidak langsung terhadap kemajuan Indonesia kan?

Solusi nyata?
Kita punya buanyak sekali perguruan tinggi yang setiap saat menelorkan sarjana-magister-doktoral bidang pertanian. Pakai semua orang-orang itu. Ajak semua orang ahli pertanian untuk langsung turun ke lapangan. Membina secara langsung dan membantu bercucuran keringat meningkatkan kualitas hasil produksi. Sehingga yang diharapkan seperti 'petani mengatur pasar dan konsumen' bisa terwujud. 

Jika sudah sekuat tenaga?
Pekerjaan yang akan dilakukan secara sungguh-sungguh akan membawa dampak yang baik. Akan muncul nilai positif dalam semangat kita. Ada harapan untuk ke depannya. Namun perlu diperhatikan pula, ada kalanya untuk beristirahat sembari merencanakan esok hari. Apalagi istirahatnya di ruang yang inspiratif seperti di ruang "Melepas Lelah".

---(Petani Indonesia Masih Miskin, Siapa Peduli? (bag.2-selesai)---

3 komentar:

  1. Bedakan petani dengan buruh tani, Yan. Petani itu ya wajar kalau kaya, sawahnya banyak. Kalau buruh tani, ya gitu deh.
    Sebenarnya yang mengatur strategi pemasaran itu petani. Memang benar kalau petani tidak semuanya punya pemahaman yang bagus tentang pemasaran, tapi banyak juga yang bisa memenej sawahnya dengan baik (habis nonton Pelangi Desa TVRI ^^).

    Supaya lebih bisa terarah dan terkoordinasi, menurutku koperasi petani atau kelompok-kelompok kerja bidang pertanian bisa diandalkan.

    (+): menurutku sarjana pertanian itu ya cocoknya jadi petani, Yan. Soalnya penguasaan teknologi mereka bagus, pemasaran pun bukan barang asing buat mereka. Tapi memang bertani belum populer di kalangan masyarakat akademis negeri kita.

    BalasHapus
  2. eh jangan salah mas, dulu di tahun 70-an, gelar insinyur itu identik dengan insinyur pertanian. Artinya, bidang pertanian waktu itu benar2 digadang2.

    Sekarang, harus digadang2 lagi. Sebagai reformasi sistem pertanian.

    BalasHapus
  3. menyejahterakan petani memerlukan subsidi dan proteksi, juga insentif bagi peneliti2nya serta industri hulu-hilirnya. Bawang kita kalah "murah" karna India memberi subsidi untuk ekspor per kontainer 2.000 dollar. Proteksi melalui undang2 juga perlu ketegasan, UU Hortikultura yang notabene pro petani malah "melempem" ketika petani brebes kebanjiran bawang

    BalasHapus

Silakan berkomentar yang sehat