Jumat, 05 Oktober 2012

(Gak) Akan Aku Bangun Bangsa Ini!

Sakit. Beberapa minggu terakhir, aku harus terpaksa menyaksikan dan mengisi bagian hidupku dengan rasa sakit. Kenapa? Ini surat untuk sahabatku, pencerah.

"Sudah cukup buruk, bangsa ini. Moral hancur, tak ada yang bisa diharapkan lagi

Aku punya jalan sendiri. Dan aku sudah putuskan untuk ke luar negeri.
Karena aku sadar, ternyata sejak SMA aku sudah apatis dengan negara dan bangsa ini.

Hanya karena ospek fakultas Patriot 2010 waktu itu, aku sempat 'tersadar' untuk membangun bangsa. Tapi kamu benar, ilmu tidak dihargai di Indonesia.

Kamu benar, Indonesia gak punya seperangkat instrumen yang lengkap dan bagus untuk riset.

Aku emang anak bangsa. Tapi ku gak mau ikut ngurus bangsa yg udah terlanjur sakit ini. Salah2 ikutan sakit. Kayak sekarang ini. Sakit psikis.
Makasih sobat, udah menyadarkan aku tentang ini.

Sip. Aku akan semangat bukan untuk bangsa yang hancur ini.

Idealisme yang aku bangun sehabis ospek fakultas sia2, masih hanya sebatas idealisme di benak saja. Tak pernah bisa direalisasikan sedikit pun.

Bukan karena aku, tapi karena lingkungan yang sudah remuk gak karuan.

Hha, gak papa.
Pokoknya sehabis lulus, begitu ada lowongan ke luar negeri, aku mau ke sana.
Seumpama jadi WNA-pun ndak masalah
Teman2ku di LA, jadi warga negara USA, sukses semua. Brilian semua.
Mau riset apapun, didanai. Hasilnya dihargai.

Gak kayak di indonesia, IAGI aja gak ngasih seminar kit yang hanya 10ribuan.
Sayang memang.

Tapi ku gak mau terlalu galau mikirin kayak gini.
hhe..

Semua pemerintahan di negeri ini, banyak lahan basah untuk korupsi,
apalagi Pertamina!


Udah monopoli pasar minyak Indonesia, tapi masih aja rugi. Apa2an.
Isi semua kementerian dan stakeholder pemerintah pusat tu korup semua, sekalipun kementerian agama.

Memang pahit, melihat kondisi ini.
lebih pahit jika aku pergi dari Indonesia.

Tapi aku gak merasa pahit kayak gitu

Dulu sewaktu aku berangkat ke LA via Singapore, sempat menangis terharu.
Sempat menyenandungkan lagu Tanah Airku Tidak Ku Lupakan.
Membawa nama harum Indonesia ditengah keterpurukan bangsa.

Tapi aku menyesalkan tangisanku itu.

Aku sadar dari obrolan denganmu, politik dan meneliti di Indonesia itu sudah tercampur baur. Gak bisa dibedakan. Mau meneliti tapi tetap aja mikirin politik

Sudah bulat ini tekad, jangan membuat ragu lagi.
Semakin dipikirkan, semakin bulat tekadku sobat.

Aku malah berterimakasih banget sama kamu, yg menyadarkan aku lagi ttg nasionalisme yang busuk itu.

Apa aku mesti melihat dan konsultasi dulu, mana yang baik mana yang buruk?
Apa kamu berharap aku mesti melihat semua dengan netral?
Kalau udah netral, aku harus ngapain?

Orang netral, itu malah gampang terombang ambingkan keadaan. Gak stabil. Gak punya pendirian. Dari pada sempat terombang ambingkan, mending diputusin sekarang. Jangan nunggu sewaktu netral.

Dan aku dah memutuskan untuk terus apatis.
Bullshit omongan anak2 mahasiswa ttg nasionalisme, pancasilais.


Mereka omdo, gak ada aksi nyata.
Kenapa? Karena mereka sendiripun bingung gak ngerti dengan apa itu nasionalisme.
Aku yakin itu. Hanya berolok2 doang.

Kalau mereka ngerti, aksi nyata dong.
Kalau udah gedhe, mereka pun hanya akan korup juga?

Mau ikutan mereka? Gak ah.
Apatis itu enak sobat. Gak usah mikirin orang.

Bingung kan sama jalan pikiranku? Itu yang aku ikuti dari kamu, aku sempat susah ngikuti jalan pikiranmu. Tapi aku punya jalan pikiran sendiri. Khas aku sendiri.

Biar Habibie, Soekarno menangis. What ever.
Habibie ke Jerman, membangun Jerman, dihargai luar biasa. Setengah mati.
Begitu sampai di Indonesia? Ditendang2.
Aku ada di jalan lurus! Orang2 korup itulah yang melenceng. Melencengkan pancasila dan nasionalisme.

Sudah lah sobat. Apapun yang kamu bujukkan ke aku, aku tetap pada pendirianku.
Makasih sobat, sekali lagi. Atas pencerahannya.
Kemarin agak sulit menerima idealisme versi kamu.
Tapi aku paham setelah tau kondisi orang-orang di sekelilingku, aku paham. Memang orang seperti aku gak pantas dan gak dibutuhkan mereka2 yang arogan dan gak elegan.

Sekarang ngomong kayak gini tu yang realistis.
FYI, nanti aku sadarkan adek2ku yang lain, kalau ada kesempatan keluar negeri, keluar lah. Belajarlah di negara orang. Sukseslah disana. Gak usah pulang.
SERIUS: Gak usah pulang, kecuali menengok Orang tua.

Kalau kamu masih apatis, dukung aku.
aku juga akan dukung kamu.

Kita sama2 gerah dengan keadaan Indonesia ini.
Ayo kita rame2 keluar aja, ke negeri orang

Yang jelas, duniaku dunia riset.
Bangun dunia saja


Kamu inspiring banget sobat. Haha
gak usah nyesel. Mestinya kamu bangga, bisa menyadarkan orang lain ttg ini."

Yogyakarta, October 2012

Senin, 27 Agustus 2012

Saya Benci Dosen!

Eits, tunggu dulu!
Saya bercita-cita pengin jadi dosen. Dosen apa? Dosen yang baik hati, tidak sombong, dan suka menabung mengajarkan kuliah geologi. Saya bener-bener ngebet sama status dosen dan tugas mulianya. Maklumlah, saya dilahirkan di kalangan pendidik. Bapak Ibu saya adalah guru.

Tugas mengajar atau menularkan ilmu itu sungguh suatu pekerjaan yang sangat saya sukai. Betapa tidak, jika diniatkan ibadah, akan berbuah hasil pahala yang tiada putus-putusnya, sampai mati sekalipun. Okelah, sekarang kita ngomong tentang dosen. Dosen itu mengajar atau menularkan ilmu kepada mahasiswa di bangku kuliah, bisa di institut, universitas, atau sekolah tinggi tertentu. Nah, karena bapak ibu saya adalah guru, maka saya pengin juga jadi guru, tapi gurunya guru alias dosen.


Nah, masalahnya adalah dosen yang baik itu yang kayak apa?
Dosen yang baik adalah dosen yang berhasil dengan apa yang dia ajarkan. Misal, mahasiswa bisa mengerti apa yang dipelajarinya. Namun itu gak cukup untuk disebut sebagai seorang dosen yang berpengaruh bagus.

Dosen itu mesti killer!

Iyakah? Gak, saya amat sangat gak setuju jika dosen itu mesti harus killer. Itu yang saya benci dari sosok dosen. Gak perlu juga harus kanibal. Mempersulit peserta didik adalah sesuatu yang menjijikkan menyebalkan. Kenapa? Soalnya itu gak jaman lagi. Dan trend saat ini, tidak perlu adanya suatu ke-killer-an untuk menanamkan pengaruh bagi mahasiswa. Bahkan, sikap2 kuno dosen itu hanya akan mengerdilkan komunikasi antara mahasiswa dan dosen. Akan ada gap yang hanya akan mengucilkan kerjasama antara dosen dengan mahasiswa.

Tapi nanti kalau mahasiswanya norak sama dosen? Well, itu salah satu problem kehidupan perkuliahan ini. Banyak yang mengatasnamakan ke-killer-an dosen itu sebagai pengontrol sikap mahasiswa kepada mahasiswanya. But, apakah kita tak pernah mengira bahwa akibat killer-nya dosen, akan bisa menjadi bom waktu yang entah kapan meledaknya? Mahasiswa akan terdogmatisasi sehingga di masa depan, ia akan tidak jauh2 dengan killer2 yang diturunkan dari dosennya.

Kalau melihat kenyataan di lapangan nih ya, banyak kok dosen2 muda yang disenangi mahasiswa, namun tetap mempunyai wibawa. Tetap dikagumi. Jadi, gak ada hubungannya kan killer dengan menjaga wibawa?


Trend Global!

Saat ini, sudah banyak dosen2 muda yang mempunyai pembaruan metode dari ke-killer-an menjadi lebih kooperatif dengan mahasiswa. Walhasil, baru-baru ini banyak terobosan riset yang brilian dan sudah bersaing dengan dunia luar. Sebut saja, proyek2 IT mahasiswa, proyek2 nanoteknologi, dan sepertinya masih banyak yg tidak bisa disebutkan satu persatu secara detail.

Paspor Kuliah
Saya ingin menjadi dosen yang baru, generasi baru. Saya terinspirasi dengan salah satu dosen Universitas Indonesia, yang mewajibkan mahasiswa di kelasnya untuk membuat paspor. Terserah, nanti paspornya akan kapan terpakai, yang jelas saat ini harus sudah punya. Dan pada akhirnya, belum masuk tahun2 kelulusan, sebagian besar mahasiswa di kelas itu pernah menginjakkan kakinya di negeri orang. Gak peduli, apakah ikut lomba atau kompetisi, atau sekedar melancong. Yang jelas, paspor2 itu sudah memotivasi semua mahasiswanya. Luar biasa bukan?


Kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit?
Sering banget ya kita mendengar kalimat2 eksotis ini didengung-dengungkan. Eksotis? Saya menyebut demikian karena kalimat ini unik dan memang benar adanya. Dosen yang baik adalah dosen yang tidak mempersulit mahasiswa. Mahasiswa akan berprestasi, disendat-sendat. Mahasiswa punya kesempatan ke luar negeri, dijegal di administrasi. What's wrong dengan mahasiswa? Di sisi lain, ada banyak juga dosen yang seenaknya luar biasa ikut konferensi kesana kemari tanpa beban, dan meninggalkan tugas seabrek ke mahasiswa. "Besok dikumpul di mail box saya ya. Soalnya minggu ini saya ke Wina, minggu depannya ke London, trus pulang, minggu selanjutnya ke Los Angeles."

So?
Tenang aja, lambat laun, dosen2 yang killer2 akan purna, dan saatnya dosen2 muda dengan sikap dan sifat akademis yang lebih baik berbeda. Saya 
lepas tangan kalau killer itu udah jadi watak manusia itu. Jadi kedepannya, mari kita ubah yang kuno buruk-buruk, menjadi yang baik2 dan modern. ***

Senin, 30 Januari 2012

Galau Akademik Mahasiswa!

Akhir2 ini baru ramai2nya trend 9gag atau yeahmahasiswa, isinya lumayan dong buat refreshing. Apalagi buat para remaja dan mahasiswa seperti ini. Nah, dari sekian posting di 2 tempat tersebut terutama di yeahmahasiswa, ternyata bisa disimpulkan sebuah makna bersaingnya di kehidupan nyata ini. 

"Kalau melihat orang lain kesulitan, jadi ikut sedih. Lalu mulai berpikir, bagaimana bisa membantunya untuk tidak kesulitan lagi."

Tetapi,

"Kalau melihat orang lain lebih sukses, malah jadi lebih sedih. Lalu mulai muncul pikiran-pikiran iri dan dengki."

Hahaha, dasar manusia!
(Post ini mengulang post sebelumnya tentang "3 Idiots")

Rabu, 25 Januari 2012

Etika Jalanan yang Elegan

Petuah jalanan itu memang ada!
Petuah atau aturan-aturan main ketika menggunakan fasilitas jalan dimana pun itu memang ada. Tidak peduli di gang sempit sampai di jalan tol. Suatu hari, saya mengikuti perbincangan keluarga Sagasitas saat Rapat Kerja, beberapa hari yang lalu (22/01), Ibu Prof. Suwarsih Madya - seorang guru besar UNY dan manta Ka Dinas Dikpora - mengatakan bahwa,

"Pakai jalan, itu mesti lihat aturan. Aturannya adalah ketika kita pakai mobil, kita harus menghormati sepeda motor, sepeda genjot, becak, andong, dan pejalan kaki. Ketika kita naik sepeda motor, kita harus menghormati sepeda genjot, becak, andong, dan pejalan kaki. Ketika kita naik sepeda genjot, kita harus menghormati becak, andong, dan pejalan kaki."

Tahu intinya?
Ya, beliau menjelaskan apa maksud dari aturan tersebut. Pada aturan itu, terdapat makna yang sangaaaat dalam. Ketika kita pakai mobil, itu berarti kita merupakan 'petinggi' jalan raya. Kita sekan menjadi orang berstrata sosial tinggi. Nah, aturannya, kita harus menghormati orang-orang yang berstrata di bawah kita. Beliau menambahkan, "Saya kalau di jalan, mesti harus hati-hati. Karena saya sadar, saya harus menghormati orang lain. Saya selalu berhenti sesaat, mempersilahkan para becak untuk menyeberang." Bu Warsih sangat mengapresiasi para pengguna jalan yang lain.

Saya jadi ingat!
Saya ingat sewaktu mendapat kesempatan 'bermain' di Los Angeles, California, di sana orang mau nyeberang, semua mobil antre. Mobil-mobil itu sebenarnya mau belok ketika di persimpangan. Namun ketika ada orang menyeberang, mobil-mobil itu tidak menampakkan mobilnya mau belok kecuali lampu sen. Dan mobil-mobil itu berhenti jauh sekitar 3 meter dari zona penyeberangan.


Coba perhatikan gambar di atas. Sangat elegan dan tentram buat penyeberang. Mereka sangat safety, berbeda dengan Indonesia. Coba bandingkan dengan ilustrasi berikut.


Di Indonesia, orang nyeberang dimaki-maki, pemakai sepeda kayuh dicaci, penarik becak dibenci. Dan rata-rata mungkin yang membenci adalah orang-orang sok berduit, sok berkelas, dengan mengendarai mobil. Dengan angkuhnya, si pengguna mobil marah-marah. Ah, dasar tukang becak. Ah, dasar motor, maunya menang sendiri. Padahal, yang mau menangnya sendiri ya si mobil lah. Spasial 4 motor ditilep buat dia seorang dengan mobilnya. Menuh-menuhin jalan gak karuan. Main senggol sana senggol sini. Walhasil, sebanyak 9 orang terpaksa menanggung akibat keserakahan mobil berbius obat di kompleks Tugu Tani Jakarta kemarin.

So?
Jadilah pengguna mobil yang bijak. Jadilah pengguna jalan raya yang bijak. Hormati pengguna yang memakai sarana lebih rendah darimu. Itu akan berimbas balik ke kamu. Kamu hormat ke orang lain, memberi senyum kepada mereka, mereka juga akan senyum kepadamu dan hormat kepadamu. Temukan itu di Bumi Jogjakarta kalau tidak percaya! ***

Jumat, 13 Januari 2012

Mahasiswa! (part 3-end)

Mahasiswa: Sumpah Pemuda, bukan Pemuda Sampah!

Banyak diperingati di beberapa tempat di Indonesia yakni tanggal 28 Oktober 2011 sebagai Hari Sumpah Pemuda. Hari itu adalah hari yang diyakini sebagai waktu sakral bagi Indonesia karena pada saat itu beberapa penggal sumpah diteriakkan bersama-sama oleh sejumlah pemuda Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan hasil rumusan beberapa kali kongres pemuda. Adapun bunyi Sumpah Pemuda tersebut adalah 

SOEMPAH PEMOEDA 

Pertama 
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA 

Kedoea 
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA 

Ketiga 
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA 

DJAKARTA, 28 OKTOBER 1928 


Sumpah Pemuda dituding-tuding sebagai salah satu perwujudan rasa nasionalisme pemuda terhadap tanah air. Hari ini, para pemuda Indonesia dituntut untuk bisa menghapal Sumpah Pemuda. Setelah berhasil menyimpan teks-teks Sumpah Pemuda ke dalam benaknya, acapkali para pemuda Indonesia sudah merasa bahwa mereka sudah menunjukkan rasa nasionalisme kepada tanah air. 

Padahal sekali-kali tidak hanya seperti itu saja. Jika paradigma pemuda masih seperti itu, bisa dikatakan bahwa mereka bukan tengah menjadi insan nasionalis melainkan pemuda sampah. 

Mengapa menjadi pemuda sampah di masyarakat? Kalau bukan sampah, bagaimana mereka bisa merusak kampus mereka sendiri? Bagaimana mereka bisa saling baku hantam? Tentu, tidak ada kata yang pantas untuk mereka kecuali sampah masyarakat. Lalu akan diapakan sampah tersebut? Ada dua kemungkinan. Sampah akan dibuang karena sudah tidak terpakai atau sampah akan didaur ulang agar bisa berguna lagi. Bayangkan jika asumsi ini diterapkan kepada mereka para sampah masyarakat dalam hal ini para pemuda yang salah menempatkan semangat mereka. 

Jika didaur ulang pun, akan melewati fase penghancuran terlebih dahulu untuk kemudian diolah menjadi suatu barang yang lebih baik dan bermanfaat. Penghancuran karakter buruk harus dilakukan pada para pemuda. Pada akhirnya, semangat yang meledak-ledak akan terarah untuk menghadirkan semangat positif. Secara otomatis, semangat postif akan menghasilkan energi positif. Setiap aksi membutuhkan energi. Jika energi yang tersedia adalah energi positif maka akan terbentuk aksi positif pula. Dengan serangkaian yang positif, para pemuda akan menghasilkan sesuatu yang positif. 

Cara menjadi pemuda yang positif dan berguna adalah salah satunya dengan berkompetisi. Memunculkan sikap kompetitif yang positif dan sehat akan memunculkan pola pikir yang inovatif, kritis, dan prospektif. Sudah banyak dari beberapa pemuda Indonesia yang mempunyai otak brilian yang berhasil menemukan banyak inovasi dan teknologi baru. 

Sudah banyak dari pemuda Indonesia yang menjadi jawara internasional. Mereka mampu bersaing dengan warga asing yang disebut-sebut sebagai ahli teknologi. Mereka dengan gigih mempercantik nama Indonesia di mata dunia. Mereka seolah menutupi masalah-masalah tidak penting di Indonesia. 

Sudah saatnya mahasiswa Indonesia mengubah diri dan membentuk karakter yang baru dan baik bagi Indonesia. Dengan meyakini bahwa peran mahasiswa sangat menentukan roda perjalanan bangsa, mahasiswa Indonesia harus meyakinkan diri untuk bisa memilih jalan mana yang terbaik. 

Tidak perlu berteoritis belaka. Sampai detik ini, coba masing-masing dari kita mengukur seberapa berguna kita sebagai mahasiswa menurut Tri Darma Perguruan Tinggi? Seberapa berguna kita sebagai mahasiswa yang punya rasa nasionalisme tinggi terhadap bangsa dan tanah air? Sampai pada pertanyaan terakhir, apa yang sudah kita persembahkan sebagai kewajiban kepada negara, bangsa, tanah air, dan masyarakat sampai kita sudah berani untuk menuntut hak? [***]

Mahasiswa! (part 2)

Omong Kosong Mahasiswa: Kemunafikan 
Ada kalanya, di perempatan jalan dan di gedung-gedung pemerintah, terdengar ada hiruk pikuk sejumlah mahasiswa menyuarakan demonstrasinya. Dengan semangat, mereka mengayunkan spanduk bercat semprot dengan tulisan tuntutan mereka. Bendera-bendera dikibarkan mulai dari bendera organisasi mahasiswa sampai bendera Merah Putih. Tidak lupa, terdengar nyanyian lagu-lagu kebangsaan dan mahasiswa.

Darah Juang
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samudranya kaya raya
Tanah kami subur, Tuhan

Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat

Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Padamu kami mengabdi
Padamu kami berbakti



Perjuangan Mahasiswa
Kepada para mahasiswa
Yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan
Di persimpangan jalan

Kepada pewaris peradaban
Yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia

Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta.



Sekilas terkesan menyayat hati dan menyentuh kalbu. Siapapun akan menjadi mendukung mahasiswa pada saat itu. Tetapi, muncul pertanyaan, apakah benar yang disampaikan mahasiswa itu? Apakah mereka benar-benar berada di pihak yang mereka anggap tertindas? Dan bagaimana peran mahasiswa sendiri dalam mengatasi masalah yang mereka gembar-gemborkan? 


Pertanyaan-pertanyaan kritis itu seakan membentengi diri untuk langsung membenarkan apa yang mahasiswa suarakan. Karena setelah melihat fakta bahwa dari mereka yang rela berpanas-panas di jalan, hampir tidak ada yang mereka lakukan selain berdemo secara anarki. 

Logika yang dapat diterima akal adalah ketika mahasiswa memang sedang dalam jalan yang benar dan memposisikan diri sebagai insan berpendidikan, maka mengapa mereka rela menghabiskan waktu untuk sekedar berdemo tanpa penyelesaian yang nyata? 

Mengapa dari mereka tidak sedikitpun berpikir bahwa masalah masyarakat saat ini bukan lagi masalah pemerintah. Namun semua itu menjadi masalah mahasiswa. Bagaimana mahasiswa memecahkan masalah masyarakat itulah yang disebut-sebut sebagai Tri Darma Perguruan Tinggi. 

Cukup muak!
Geli dan muak mendengarkan mahasiswa sampai berurat-urat nadi lehernya meneriakkan “Ganti Pemerintah dengan yang Baru! Pemerintah saat ini telah gagal!” Sangat menyakitkan mendengar bualan mahasiswa seperti itu. Mengapa tidak pernah terbesit dalam benak mereka bahwa saat ini tidak perlu mengganti pemerintah yang baru namun sangat perlu untuk mengganti masyarakat yang baru. "Ganti masyarakat yang baru!"

Tentu dengan pola pikir yang baru, semangat perubahan yang baru, sikap dan budi pekerti yang baru. Bagaimana mahasiswa yang dengan gagahnya mengatakan bahwa mereka adalah pihak independen, tetapi sangat mudah untuk diprovokasi. Omong kosong dengan aksi mereka berpanas-panas di jalanan, Meneriakkan yang tak berarti bagi mereka sendiri. Menjadi mahasiswa tidaklah mudah. Semakin besar kekuatan yang dimiliki, maka semakin besar pula tanggung jawabnya. Jangan pernah menjadi mahasiswa sampah. Mahasiswa aktif di organisasi (BEM) tapi tetap menjadi sampah. Menjadi mahasiswa yang aktif demonstrasi tanpa tindakan nyata hanya akan menjadikan diri sebagai sampah.

Minggu, 08 Januari 2012

Mahasiswa! (part 1)

Mahasiswa, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, mempunyai arti orang yang belajar di perguruan tinggi. Dalam ranah kedudukannya dalam sebuah negara yang berpedoman pada sistem demokrasi, mahasiswa ditempatkan sebagai salah satu elemen masyarakat yang penting dalam pemutusan kebijakan pemerintah. Banyak orang percaya bahwa saat menjadi mahasiswa adalah fase pertumbuhan dan perkembangan manusia menuju kedewasaan. Transisi antara remaja dengan dewasa adalah mahasiswa. Tanggung jawab sebagai manusia bertambah ketika menjadi mahasiswa. 


Bahkan, mahasiswa kini menjadi salah satu penyokong Tri Darma Perguruan Tinggi yang melibatkan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dari panji-panji Tri Darma tersebut, sudah jelas tugas mahasiswa sebagai penimba ilmu di meja kuliah. Sebagai calon profesional, mahasiswa dituntut untuk mengembangkan riset secara komprehensif dan tuntas. Sehingga diharapkan pada akhirnya, dari riset yang dilakukan, didapat hasil yang bias diaplikasikan kepada masyarakat sebagai bentuk pengabdian. 

Namun, untuk menuju arah mulia tersebut, ada beberapa hal yang akrab di telinga kita dan hal itu sangat menyakitkan bagi siapapun termasuk Ibu Pertiwi. 

Semangat Mahasiswa: Salah Alamat 
Gak cuma Ayu Ting-ting aja yang salah alamat. Mahasiswa juga!
Belum lama ini, pada akhir Oktober 2011, terjadi tawuran antar mahasiswa di USU Medan, Sumatera Utara. Pada tawuran tersebut, terjadi lempar batu antara mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian. Beberapa mahasiswa menjadi korban terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat. Kerugian secara material meliputi beberapa motor yang dibakar, mobil yang terkena lemparan batu, dan beberapa infrastruktur kampus yang rusak. Rektor USU Prof Syahril Pasaribu mengatakan pihaknya belum mengetahui secara persis penyebab tawuran tersebut, namun ia menyesalkan terjadinya tawuran itu, karena tidak mencerminkan sebagai orang yang berpendidikan. (http://www.seruu.com/kota/medan-seruu/artikel/tawuran-pecah-antara-mahasiswa-dua-fakultas-di-usu) 

Di tempat lain, ratusan mahasiswa dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) terlibat tawuran, satu gedung labolatorium milik Fakultas Pertanian dibakar. 

Mahasiwa Fakultas Teknik yang melakukan penyerangan, melemparkan bom molotov ke arah gedung laboratorium Fakultas Pertanian, hingga api dengan cepat menjalar ke seluruh gedung, belum diketahui berapa jumlah korban dan kerugian yang dialami akibat insiden itu. (http://www.suarapembaruan.com/home/mahasiswa-universitas-gorontalo-tawuran-satu-gedung-dibakar/11969) 

Berita tersebut diambil dari beberapa media masa elektronik. Masih banyak kisah tragis tawuran di negeri ini. Hanya dari satu-dua kisah tawuran, sudah tak terbayang kerugian secara moral dan material yang diakibatkan. Sekelumit cerita tersebut memberikan gambaran bahwa ada hal-hal yang salah alamat. Ya, itulah semangat. Ketika dibumbui kemarahannya dan ditambah ulah tidak bertanggung jawab dari provokator, dengan semangat membabi buta, mereka melemparkan bom molotov dan batu. Dengan semangat yang salah tersebut, mereka tega untuk menghancurkan gedung dan kendaraan bermotor. 

Memang benar apa kata Rektor USU yang mengatakan, mahasiswa yang gemar tawuran tidak mencerminkan orang-orang yang berpendidikan. Secara fisik mereka berbadan tegap dan kekar, namun secara mental berotak anak kecil yang brutal. 

Seperti inikah wajah mahasiswa Indonesia?
Saya cukup muak dengan beberapa mahasiswa yang menyuarakan dengan lantang semboyan “Hidup Mahasiswa Indonesia!” di kampus-kampus. Bagaimana bisa, kita mendukung aksi-aksi mahasiswa yang anarki dan brutal tersebut dengan menyuarakan “Hidup Mahasiswa Indonesia”?