Minggu, 02 Juni 2013

Bungong Jeumpa

Siapa tak kenal bungong jeumpa?
Banyak orang mengartikan bungong jeumpa dengan bunga cempaka. Nama Jawa untuk bunga cempaka adalah bunga kanthil. Memang harum baunya. Biasanya menjadi bunga wajib bagi adat pernikahan Jawa, dirangkai bersama melati yang tak kalah harumnya. Khas, membawa suasana sakral dan kultural yang murni, Indonesia.

Bungong jeumpa merupakan bahasa Aceh.
Ah, Aceh, nama yang sangat akrab di telinga. Banyak orang yang menyebut-nyebut Aceh itu kontroversial. Namun bagi saya, Aceh merupakan daerah yang istimewa. Sangat istimewa. Sehingga pantaslah jika bergelar Daerah Istimewa, seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Agaknya memang mirip di antara keduanya. Saya bukan ahli sejarah, maka saya menyatakan baik Yogyakarta dan Aceh sebagai saudara sesama istimewa.
Panggung Seudati

Seudati.
Kemarin Sabtu, 01 Juni 2013, saya ikut menyaksikan pergelaran budaya Aceh Seudati di University Club, UGM. Ditampilkanlah pertama tari Ranup Lampuan, suatu tari penghormatan selamat datang kepada tamu. Penyajian tatanan lampu, panggung, dan konsep yang sederhana, namun tak menyurutkan decak kagum pada penampilan itu. Bahkan, kemudian disusul adanya tari-tari lain, dengan dipandu oleh penutur hikayat kondang asal Aceh, Abang Agus PMToh (Agus Nuramal). Alur cerita yang tersambung dengan rapi, diselingi canda berbobot dari seorang penutur hikayat. Dibumbui dengan kesan politik Aceh, menambah kekhusyukan dalam menikmati Seudati. Saya berharap tahun depan, Seudati diadakan lagi dengan konsep yang lebih luar biasa.

Aceh, sebuah daerah istimewa.
Satu hal yang saya tangkap dari pertunjukan itu bahwa D.I.Aceh memang sebuah daerah yang telah mapan. Hanya dari pertunjukan seni budayanya, saya berhasil memandang bahwa Aceh 'telah siap' jika-jika harus berdiri sendiri. Saya termasuk orang yang suka dan senang dengan kebudayaan-kebudayaan Sumatera, terutama Aceh. Ada aura di sana yang menyedot dan membisikkan ke telinga bahwa, Aceh itu semirip Yogyakarta. Ada kesan kemandirian di keduanya.

Saya senang Aceh.
Saya bertemu dengan beberapa kawan baru dari pertunjukan itu. Salah satunya Abang Iqbal, pemuda asli Aceh. Sepanjang pertunjukan Seudati, kami berbincang. Membahas apa yang sedang dipertunjukkan. Dan bahasan itu menyimpulkan bahwa memang perlu memandang situasi dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.

Saya pengin berkunjung ke Aceh.
Entah suatu hari nanti, saya ingin pergi ke Aceh, menemukan sesuatu yang lebih menunjukkan kepada saya, tentang Aceh. Apa benar yang diisukan di sana, diberitakan media. Apa benar? Dan sepertinya itu juga bukanlah hal yang penting. Terpenting lagi adalah D. I. Aceh mampu dan mapan untuk berdiri sendiri. Lepas dari kemiskinan dan ketergantungan pada pemerintah pusat yang sering menjadi pemberi harapan palsu.