Selasa, 18 Oktober 2016

Perlukah merasa diperalat?

Dalam keseharian kita, sering kali kita mendengar perkataan "diperalat oleh orang lain". Bahkan barangkali kita pun sering mengatakan hal yang demikian. Mengapa? Sebab kita mendudukkan diri pada pengakuan di mata manusia. Konon, salah satu kebutuhan manusia adalah merasa dihargai. Boleh jadi kita sebut eksistensi dan apresiasi adalah sifat manusiawi.

Saya pun sepakat untuk ini. Tetapi sering pula eksistensi dan apresiasi itu terlalu mendapat berlebih porsi. Sehingga ia menjadi prioritas manusia yang banyak dicari. Banyak orang yang kemudian berlomba-lomba untuk muncul ke permukaan. Bersiku dan bersusah untuk mendapat posisi dielukan. Pasang kaca mata kuda, egois, saling menjatuhkan, hanya untuk dipandang semua mata dan tepuk tangan. Itukah yang dicari wahai kawan?

Benarlah barangkali, bahwa eksistensi dan apresiasi itu wujud manifestasi kerukunan dalam bersosialisasi. Namun ketika nafsu menunggangi, semua menjadi timpang dalam diri. Yang ada justru dengki dan iri. Itu kan yang saat ini terjadi?

Bukankah seorang hamba yang jelas dipastikan dicintai Sang Pencipta justru manusia yang hampir tak pernah ditanyakan keberadaannya di mata orang?
Bukankah seorang hamba yang dirindukan Rasulullah adalah manusia yang jika tidak hadir dalam suatu majelis ilmu pun tak ditanyakan kabarnya oleh saudara muslim yang lainnya?

Saya termenung memikirkan ini. Bahwa ego yang diboncengi nafsu ternyata berbahaya bagi hati. Sangat berbahaya. Bagai paradoks sebuah koin. Seolah ego itu membakar semangat untuk naik berprestasi, namun sering pula ego itu membawa tabiat buruk yang sering pula tak disadari.

Paling mudah adalah perasaan tadi, "ah aku kok merasa diperalat sih. Disuruh kerja ini itu, tapi tak ada imbasnya yang dikasih." Sangat akrab di telinga kita kalimat-kalimat ini, sebab memang sering pula kita mengucapkannya walau tanpa disadari.

Lalu, bisakah kita menganggap kalimat itu sebagai sinyal bahwa nafsu tengah berusaha membonceng pada sifat manusiawi (eksistensi dan apresiasi) ini?

Bagi seorang muslim, saya berpikir, sebaiknya pikiran 'diperalat' itu harus dienyahkan dari hati. Sebab bertentangan dengan akhlak dan sifat manusia terpuji yang diajarkan Rasulullah, teladan yang hakiki. Bukankah Beliau bersabda, manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi orang lain?
Mengapa harus risau ketika mulai terlihat perasaan 'diperalat' itu? Bukankah yang membalas kebaikan itu adalah Sang Pencipta, bukan dari seseorang yang dianggap 'memperalat' itu?
Maka, perlukah kita menambahkan dalam jiwa muslim kita perasaan 'diperalat' itu?

© alfariski. 5 Okt 2016.
@ perjalanan Awaji - Kitakyushu.

Kamis, 22 September 2016

Menulis itu (tidak) mudah!

Di suatu saat, ketika saya membuka laman Facebook saya, saya cukup terperangah dibuatnya. Mengapa? Sebab, teman saya mem-posting desain sampul buku terbarunya. Di semester kedua tahun 2016 ini, dia beserta temannya menulis kisah-kisah hebat sepanjang hidupnya dalam 200-an halaman saja. Cukup tebal untuk bacaan sekali duduk. Tetapi menurut saya terlalu tipis jika harus disebandingkan dengan kisah nyata yang dia lakoni selama ini. Dia adalah Ahmad Ataka. Saya mengenalnya secara dekat tidak sejak kecil, namun sekadar tahu saja ketika saya sekolah di SMP. Suatu hari saat itu, saya disodori kakak saya sebuah artikel di koran. 

"Nih, temenmu dah bisa bikin novel." 

Whaat? Novel? Saya saat itupun masih bergelut dengan lumpur sawah mencari belut. Ini ada seorang anak seumuran yang sudah menaikkan cetak tulisannya menjadi novel. Judulnya pun bombastis, Misteri Pembunuhan Penggemar Harry Potter. Dibesut dengan alur cerita bak Detektif Conan Edogawa, Aka (begitu saya memanggilnya) cukup lihai memainkan plot untuk seusianya kala itu.

"Kalau kamu hebat, mestinya bisa nulis juga lho." Timpal kakak saya di antara keterperangahan saya. Terkesiap. Mendidih darah emosi sampai ke ubun-ubun. "Oke, aku bisa kok kayak dia!" Batin saya. Masih membekas di ingatan saya, sebab semenjak itulah saya mengubah haluan saya. Dari semula bermain lumpur dan mencuri tebu, menjadi berteman dengan pensil, bergelut dengan lembaran-lembaran kertas, serta meniti tiap detik jalannya waktu. "Aku harus bisa!"

Hari itu juga, saya mencoba menulis sebuah cerita. Memang kala itu, kakak saya menantang saya dengan menyodorkan sebuah informasi lomba menulis cerita. Sehabis membaca tata aturan lomba, saya sahut "Siapa takut!?" Kakak saya tertawa.

Sejam, dua jam. Tulisan saya mulai panjang. Awalnya asik tetapi lama kelamaan semakin buntu. Bagaimana sih cara membuat tulisan yang baik. Dengan bayang-bayang sindiran kakak saya, akhirnya saya menyelesaikan tulisan dengan asal-asalan. Jelek bentuknya, sakit di mata, dan pusing dibacanya. Biarin, yang penting saya sudah mencoba! Bodo amat! Umpat saya kala itu. Hehe... (saya pun masih tersenyum menahan tawa jika mengingat segmen saat itu).

Menulis itu tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Sangat membutuhkan konsentrasi yang khusus dan penuh. Tidak bisa dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain. Harus pada momen perasaan yang pas sehingga bisa membawa emosi diri ke dalam tulisan. Tulisan yang baik adalah tulisan yang betul-betul bisa men-transfer perasaan penulis kepada pembaca.

Akhirnya, thanks untuk Ahmad Ataka, sahabat saya.
Saya semenjak SMA mulai menulis dengan hati yang lebih nyantai. Saya mulai menyadari saat itu, bahwa menulis itu tidak boleh karena paksaan, apalagi karena terbakar iri karena orang lain sudah lebih dulu menulis novel. Hehe... Saya kemudian belajar meneliti. Saya mengenal tim Sagasitas (kapan-kapan saya kisahkan yang ini ya :D). Saya lalu mengenal bagaimana menulis secara ilmiah dan runtut. Ternyata perjalanan sangat panjang. Perjalanan menjadi "bisa" itu cukup melelahkan. Namun semua menyenangkan. Yups, tergantung kitanya sendiri. Apakah mau dan senang untuk melakukan apa yang menjadi hobi kita.

Maka, saya mulai berlatih menulis dalam blog-blog seperti ini. Sesekali saya menulis dalam microsoft word. Lalu saya simpan. Saya tak muluk-muluk harus punya target harus terbit dan segala macem. Itu ntar aja. Yang terpenting, saya harus terus menulis. Saya pun akhirnya menemukan style tulisan saya. Dan itu menjadi jalan saya untuk menikmati dalam menulis.

Sekali lagi, thanks untuk Ahmad Ataka atas inspirasi di tahun 2005 itu, walaupun saya mulai akrab ketika saat-saat lulusan SMA... :D

Senin, 05 September 2016

Kode Pos Kecamatan Godean Sleman yang Benar!

Saya akhir-akhir ini tengah membutuhkan data beberapa alamat kolega-kolega saya, sebab saya ingin mengirimkan banyak hal melalui layanan Pos Indonesia. Saya terkadang lebih suka untuk menggunakan layanan itu daripada JNE, TIKI, atau sejenisnya, sebab barang yang saya kirim sifatnya pribadi dan terasa unik ketika harus dengan menggunakan prangko dan stempel pos di atasnya. Beberapa kali ini terkesan lebih vintage tetapi lebih mengena. Kurang lebih begitu.

Nah, saya akhirnya mengecek satu per satu alamat yang sudah saya buat dalam list alamat yang akan saya kirimi kartu pos. Lumayan sih, kartu pos dari luar negeri. Dikirim dengan prangko luar negeri, otomatis dikirim dari sana. Hehe, mengirim kartupos semacam ini sebetulnya bikin geregetan juga. Kadang nyampe kadang enggak. Tapi gak masalah.

Lalu, tibalah dalam list yang saya baca. Ada yang beralamat di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai calon pengirim yang baik, saya harus mencantumkan alamat yang lengkap pada surat/kartu pos saya dong. Membantu pak Pos dalam mengantarkan selembar surat ini juga kan. Yang diuntungkan juga saya. Hehe...

Biyadalah, oh my... Ternyata nomor kode pos Kecamatan Godean ada 2 nomor: 55564 dan 55264. Wow kan? Emang angka 5 dan 2 kalau di tulisan tangan terkadang mirip sih bentuknya. Tetapi ini tidak boleh dibiarkan dong ya. Bagaimana cara tahu mana yang benar?

55564
Kode pos ini sudah saya kenal sejak SD ketika harus menghafal nomor-nomor kodepos (pelajaran RPUL- jaman SD dulu). Saya seyakin-yakinnya kalau nomor yang benar itu ya yang ini. Saya melihat surat-surat jaman bahula juga seperti ini.

55264
Ini pun saya dapat dari administrasi perbankan dari seseorang. Pernah saya lihat identitas alamatnya, juga Godean tetapi berkodepos 55264. Ia pun telah menanyakan ke admin Customer Service bank-nya. Kata CS, nomor kodepos yang 55264 itu otomatis intenet di data base nya. 

Akhirnya saya cek juga di internet.
Dan memang banyak yang sudah membahas dwi angka ajaib ini. Beberapa tidak konklusif dan tidak meyakinkan. Saya pun menelepon kantor pos Godean, dan menanyakan hal ini. Dan taraaa.... akhirnya didapatlah jawaban yang benar sebenar-benarnya.

Kode pos Kecamatan Godean, Sleman adalah 55564 (5 tiga kali, 6 dan 4). Tidak pernah ada angka 2 pada kodepos kecamatan ini menurut bonggol induk bukunya Kantor Pos (PT. Pos Indonesia). 

Begitu ya, harap menjadi periksa bagi masyarakat semua, bahwa yang benar adalah 55564, bukan 55264.

Sumber:
Kantor Pos Kecamatan Godean
JL. Raya Godean, Sidoluhur, Godean, Sleman · (0274) 6496622

Sabtu, 30 Juli 2016

Surat Proposal

Dear calon ibunda bagi anak-anakku,
Aku termasuk golongan pemuda yang malu dalam mengungkapkan isi perasaan. Namun dari maluku ini tidak kemudian teranggap bahwa aku tuna rasa kan? Aku kemudian hanya menyimpannya dalam kesabaran. Walau begitu, ku juga tetap sadar kok, bahwa suatu saat aku harus mengatakannya. Dan inilah saatnya. Ku harap engkau mau menyimaknya.

Begini, wahai calon madrasah bagi anak-anakku,
ku telah banyak mendengar bahwa hidup kita ini tidak lain diciptakan oleh Allah hanyalah untuk beribadah kepadaNya, bersyukur kepadaNya, menghampar-bumikan sifat dan sikap sebagai seorang hamba. Lalu, ku sadari pula bahwa Dia menjadikan insan makhlukNya itu berpasang-pasangan, dari bersuku-suku, untuk saling memahami satu sama lain. Bukan untuk tujuan utama menyamankan diri masing-masing, tetapi untuk lebih ke menyadari bahwa manusia itu serba kekurangan, serba berkesalahan, dan seyogyanya pula segera menarik kesimpulan bahwa mereka memang hanyalah makhluk dari Dzat yang Maha Sempurna.

Wahai calon pengasuh anak-anakku,
ku berharap bahwa engkau bisa sampai hati dalam memarahiku jikalau aku mengingkari fitrah yang dititahkanNya. Ku berharap bahwa engkau mau berteguh hati dalam menjaga atmosfer ketauhidan di dalam rumah kita. Ku berharap di setiap detiknya, kita saling mengingatkan bahwa bibir haruslah basah oleh dzikir kepadaNya. Ku berharap bahwa engkau tidak melihatku dari fisik saja. Ku berharap bahwa engkau menemukan potensiku sebagai  sosok pemuda yang engkau idamkan. Potensi ruhani dan sifat diri yang semoga tetap mengimaniNya. Ku berharap, engkau mengambil akhlak baikku sebagai sebab cintamu kepadaku karenaNya.

Wahai calon istriku,
ku akhirnya bertekad memilihmu untuk bersama dalam peribadahan mulia itu. Ku berharap akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupan bersama di antara kita.

Duhai calon istriku,
hidup ini sangat singkat, dan tiap detiknya berjalan tanpa kembali. Andai tiada penanggalan hari, akan semakin jelas bahwa batas hidup kita di dunia semakin dekat. Untuk itu, ijinkanlah diri ini untuk menanyakan apakah engkau mau dan bertekad untuk beribadah kepadaNya bersamaku di sisa usia kita?

Masa lalu punyamu tak perlu kutanyakan, barangkali ada aib diri yang memang sedang engkau jaga. Pun daku, tak ada manfaat engkau menanyakan masa laluku. Terpenting saat ini adalah masa depan kita bersama, menyertai anak-anak beranjak dewasa, dan semua itu kembali kepada fitrah kita, yakni menyembah hanya kepadaNya.

Wahai kekasihku,
aku akan memulai perjumpaan kita dengan meminta maaf... maaf atas ketidak-tahuan mensyukuri nikmat yang sempurna dariNya, sehingga diri ini masih terasa jauh dari kata sempurna untukmu. Aku tidak akan bisa memberimu kebahagiaan, karena bahagia hanya Allah yang bisa memberi. Semoga Allah memberikan tabiat yang baik padaku untukmu.

Ku juga akan mengiringi kisah perjalanan kita dengan meminta maaf, karena akan banyak masalah yang tidak perlu terjadi tapi justru terjadi dengan pedihnya membawa perasaan. 

Hingga pada akhirnya...
aku juga akan meminta maaf karena bisa jadi akan meninggalkanmu dari dunia ini lebih dahulu, untuk kembali padaNya. Juga saat itu, bisa jadi, menjadi akhir perjumpaan kita dengan masih ada rasa menanggung beban masalah yang belum selesai.

Wahai kekasihku, calon istriku, calon ibu dan madrasah pertama bagi anak-anakku nanti, Ini adalah sepotong isi hati diri untuk saat ini. Ku kan siap menjadi teman diskusi jikalau engkau mempertanyakan prinsipku yang belum terceritakan. Semoga kita bisa bersua di Jannah-Nya.

Bismillahirrahmaanirrahiim, semoga Allah menjaga tiap langkah kita di jalanNya. Aamiin.

Catatan dari Pa Tong, Phuket di senja yang sendu,
dari lubuk hati yang terdalam,
untukmu wahai kekasihku.

Senin, 16 Mei 2016

Well-saturated brain

Sob,
masih ingat postingan saya yang di Kalahkan Jenuh dengan Peluh? Di situ ada satu istilah yang saya sebutkan, yaitu well-saturated brain. Iyaps, kejenuhan saya sebut seperti itu. Sebab, memang ada kalanya seseorang itu stagnan, gak bisa ngapa-ngapain. Kejenuhan dalam benaknya sudah level kronis. Menahun ibaratnya. Gampang banget datangnya, tetapi gak terasa datangnya. Tetiba aja mandeg. Buntu sebuntu-buntunya. Secara fisik masih oke lah, tubuh masih bisa bergerak bebas dan kesana-kemari. Tetapi, bayangan otak udah gak ada kreativitasnya sama sekali.

Kita sebetulnya,
sering lho berada dalam level well-saturated brain (WSB) macam itu. Cuma ya itu tadi, gak kerasa kapan nya. Dan di sini, saya bahas khusus tentang WSB, sebab WSB menurut saya adalah sebuah penyakit. Serius, penyakit. Ya walaupun bukan penyakit klinis yang mesti menyerang organ fisik tertentu dalam tubuh sih, namun setidaknya, WSB ini tergolong dalam penyakit yang menyerang kinerja dan pola perilaku/sikap manusia. Bisa gak dimasukkan ke dalam gangguan jiwa? Belum sampai sebegitunya sih.

Dengan persiapan dan perawatan yang baik, WSB bisa disembuhkan.

WSB bisa, sangat bisa,
disembuhkan dengan setidaknya kita ketahui faktor penyebab dan bagaimana cara merawatnya, seperti beberapa hal berikut ini:

Pertama,
lingkungan aktivitas yang memang berkecepatan rendah (low-rated environment). Saya taruh faktor ini di urutan pertama karena memang yang paling besar pengaruh pada tingkat semangatnya kita adalah lingkungan. Bisa lingkungan kerja, lingkungan belajar, atau lingkungan aktivitas yang lain. Biar bagaimanapun, banyak kita baca bahwa lingkungan pula yang berperan penting dalam pembentukan karakter. Nah lhoh. Karakter mameen... Kurang serius apa coba. Makanya, beresin dulu faktor ini. Berpindahlah dari lingkungan yang lamban ke lingkungan yang lebih aktif dan enerjik. Dengan begitu, kita yang terjangkit WSB akan perlahan mengikuti arus kreativitas yang lebih cepat. Dan itu juga akan tanpa disadari sepenuhnya.

Kedua,
kurang olahraga. Ini seriusan. Work-out yang tidak sesuai atau bahkan tidak latihan olahraga fisik sama sekali hanya akan membuat kinerja fisik tidak efektif. Bawaannya hanya mengantuk, lemas, pusing, dan segala kelesuan yang lain. Logis, sebab kurang gerak dalam olahraga yang tepat, akan mempengaruhi pola metabolisme tubuh menjadi buruk. Peredaran darah tidak lancar, distribusi oksigen dan gizi yang terserap dari usus tidak maksimal, sehingga pada akhirnya, sedikit sel otak yang tersuplai darah segar beroksigen dan bergizi. Logis bukan? Makanya berolahragalah. Kalau bisa yang bersifat cardio atau memacu efektivitas kerja jantung. Rumusnya seperti ini (bisa dilihat di sini):

Hitung target detak jantung:
(220 - usia) x 0,6 = batas minimum dari target detak jantung per menit
(220 - usia) x 0,8 = batas maksimum dari target detak jantung per menit

Contoh: Jika usia saya 24 tahun, maka (220 - 24) x 0,6 = 117,6 (sekitar 118 detak per menit) untuk batas minimum, dan (220 - 24) x 0,8 = 156,8 (sekitar 157 detak per menit) untuk batas maksimum.

Ketiga,
kurang piknik. Nah yang ini baru ngehits. "Ah kamu sih, kurang piknik". Saya taruh faktor ini ke deretan ketiga karena juga cukup berpengaruh pada tingkat kesehatan otak kita. Fungsi piknik atau jalan-jalan itu banyak. Bahasa jaman saat ini adalah traveling. Bisa random traveling, atau well-planned sight-seeing. Dengan piknik, minimal otak kita bisa istirahat dari segala rutinitas. Juga, bisa menambah referensi baru yang mungkin bisa dipakai untuk percepatan pekerjaan di hari esoknya.

Keempat,
menikah? Well. Saya sendiri akhirnya 'terpaksa' meletakkan wacana menikah pada penyelesaian WSB. Kenapa? Karena setelah saya lihat dari berbagai studi kasus, banyak lho pasangan yang sudah menikah halal, sang suami menjadi sangat melejit kreativitasnya. Setelah menikah, banyak yang kemudian lancar berwirausaha. Yakin saya, bahwa mereka pun ada jatuh-bangun dalam beraktivitas, tetapi tahan banting, sebab ada seseorang yang menunggu jatah di rumah. Hehe...

Nah,
itu beberapa faktor yang saya pikir paling penting untuk menyembuhkan WSB. Untuk faktor satu sampai tiga, mudah lah diusahakan bagi setiap orang. Tetapi kalau yang keempat, gak semudah itu dilakukan. Butuh persiapan yang matang. Dan saya sedang mempersiapkannya. Hehehe...

Disclaimer: well-saturated brain adalah istilah saya sendiri, bukan istilah medis. Hehe...

Minggu, 01 Mei 2016

Wanita tercantik di dalam hidupku

Hai sob,
hari ini, aku baru mendapat pencerahan. Yakin, ini menjelaskan sejelas-jelasnya bagaimana rupa dan bentuk sebuah rejeki dari Allah. Ceritanya, aku mampir ke sebuah tempat di daerah Terban, selatannya kompleks UGM, Yogyakarta. Lalu, terdengarlah suara seseorang yang terasa empuk dan nyaman di telinga. Maka sayup-sayup di antara keramaian antrian bangjoo KFC Terban, ku cermati setiap penjelasan dari seseorang itu. Rupanya, ada semacam ceramah begitu di sekitar perempatan itu.

Begini penjelasannya (secara garis besarnya saja ya... karena ya cuma sayup-sayup ndengerin-nya):
Ada pertanyaan,
"Apa jadinya, jika lumrahnya saat setiap bayi manusia dilahirkan di dunia ini dengan keadaan kedua mata dapat memandang dengan sempurna berikut berkedip, lalu ada kalanya bayi lahir dengan mata tertutup alias buta? Apa yang akan kita labelkan kepada adik bayi yang kedua? ... apakah si adik bayi yang tunanetra kita sebut sebagai bayi yang cacat?"

Terdengar setelah itu, jawaban koor (bersamaan), "Iya, cacat.."

Si penceramah melanjutkan bertanya, 
"Lalu, jika ternyata, setiap bayi manusia itu lumrah lahir buta semua... dan ada satu bayi yang matanya dapat terbuka dan melihat, akan tetap kita sebut si bayi melihat itu sebagai sebuah ketidaklaziman?"

Kali ini tak ada jawaban berjamaah. Rupanya sesaat kemudian, hening. Terbayang dalam benakku bahwa pertanyaan dan jawaban itu berasal dari satu forum yang hadirin nya banyak. Dan dengan diamnya pendengar pada pertanyaan kedua, menunjukkan bahwa hadirin mulai memahami maksud si penceramah.

"Itu dia. Kita sebut sesuatu itu cacat karena ketidak biasaannya. Padahal yang tidak biasa itu sebetulnya juga lumrah terjadi. Persepsi dan pendapat manusia kebanyakan lah yang membuat pemahaman kita pun menjadi pengikut pemikiran yang berkembang di antara mereka. Kita dengan mudah memandang orang yang mempunyai 'keterbatasan' itu sebagai sesuatu yang cacat. Padahal sekali-kali tidak. Sekali-kali tidak."

"Apa bahayanya? Dengan hanya berpatokan pada penilaian manusia, kita menjadi sangat rentan dan pasti terjerumus pada ketidak-puasan akan apa yang diberikan kepada kita. 'Wah, kok aku tidak dapat yang itu ya?'"

Bener juga ya. Aku tersentak. Betul sekali.
Wallahi what he says is so true. Begitu kata-kata dari Deen Squad - Friday.
Benar dan sangat membuka pemahamanku yang selama ini hanya mengejar penilaian manusia.

Lupa,
bahwa Allah menciptakan sesuatu apapun di muka bumi dan alam semesta ini tanpa cacat. Tanpa cacat! Flawless. Lalu, penentuan cacat atau tidak itu murni karena pandangan manusia. Karena nafsu manusia. Ya Allah, betul sekali - lalu perasaanku teraduk-aduk, bagai es buah. Teraduk-aduk tetapi menjadi nikmat.

"Oke Yan,
mulai saat ini, syukurilah apa yang Allah kasih ke kamu. Bersyukur dan menerimalah dengan lapang dada. Jikapun tak sesuai dengan harapan awalmu, segeralah beranjak dari perasaan 'tidak terima' itu. Sungguh, itu betul-betul yang terbaik bagimu."

Lalu,
si penceramah mengutarakan kembali nasihatnya.
"Lalu, mengapa sampai saat ini, banyak wanita yang dianggap cantik dan di lain tempat ada yang buruk rupa? Mengapa para lelaki seolah membuka mata hanya kepada wanita yang dianggap superior dari fisik? Bukankah yang ternilai dari seseorang itu bukan dari fisik melainkan dari hati dan akhlaknya?"

Oh meeeen, aku tertohok lagi. Hehe... Sangat benar!

"Maka, siapakah wanita yang sesungguhnya paling cantik bagi para setiap manusia?" Agaknya ini pertanyaan terakhir yang aku tangkap.

Si penceramah menjawab sendiri, "Ia adalah ibu."

Oh sob, makin leleh nih.

"Tak akan pernah ada hati nurani seorang anak mengatakan ibunya buruk rupa. Ia akan sangat rela hati mengatakan ibunya-lah wanita tercantik di dunianya. Tak memandang secara fisik. Ingat, ini adalah fatwa hati. Maka dengarkanlah."

*Menjadi kangen dengan Ummi.

Senin, 18 April 2016

Kalahkan Jenuh dengan Peluh

Hai sobat,
pernahkah kamu merasa jenuh saat-saat melakukan rutinitas sehari-hari? Hehe... Namanya saja rutinitas. Apapun itu, bakal ada fase jenuh (well-saturated brain - istilah saya sendiri, hehe). Eits, tunggu dulu sob, setelah sekian lama saya mengingat-ingat setiap jejak langkah saya, ternyata jenuh itu akan sering dijumpai pada aktivitas yang berpihak pada kebaikan. Sementara itu, jenuh  akan susah kita temui saat kita berbuat keburukan. Ya nggak Sob?

Baik kok jenuh?
Iyes... Bener deh, coba buktikan. Kapan saja sih kita merasa jenuh? Mesti saat kita sedang belajar di sekolah atau di kampus, atau mungkin sedang menunggu redanya hujan? Apa saja lah, yang jelas, segala kebaikan yang seharusnya dilakukan itu serasa selalu terhalangi dengan jenuh yang datang beriringan. Mestinya sih, kita pandai-pandai untuk berinovasi saat jenuh dalam berkebaikan. Biar bagaimanapun, tiap detiknya hidup kita adalah waktu yang sangat berharga. Lakukan hobi yang positif Sob, contohnya menulis. Pasti ada kebaikan di dalamnya. Lain kata, mari kalahkan jenuh dengan peluh (bekerja dan belajar).

Dan tak pernah terjumpa jenuh dengan buruk?
Saat kita bermusik ria, melewatkan waktu yang terbuang percuma di tiap detiknya dengan menonton film yang tak berfaedah, atau ngobrolin teman sekolah, kok kayaknya gak ada jenuhnya ya? Mungkin bagi sebagian orang akan merasa jenuh juga. Tetapi, pasti gak akan lama. Sebab, jenuhnya itu bakal terganti dengan setiap episode keburukan yang semakin ter-upgrade di tiap detiknya pula. Bosan dengan yang ini, pindah dengan keburukan yang itu. Bosan dengan yang itu, ganti dengan yang lainnya lagi. Bener kan?

Gimana sih rasanya jenuh?
Setiap kita, pasti merasakan bahwa jenuh itu jelas menjengkelkan, tidak menyamankan hati. Bawaannya, hanya akan marah, gusar, sebel. Ibarat kata, tiap ada makanan di depannya akan dilahap, tiap ada orang akan dimaki, tiap ada batu minta ditimpuk (eh kok gak nyambung yak?). Tiap detiknya menjadi serasa lebih panjang berlipat eksponensial. Intinya, semua sepakat, gak pengin merasa jenuh.

Lalu, apakah menunggu jodoh juga menjenuhkan?
Eyaaa...

Rabu, 20 Januari 2016

الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك

- Al-waqtu kas-saif illam-taqtho'hu qatha'aka -

Waktu ibarat pedang, jika kamu tidak memotongnya, niscaya pedang itu yang akan memotongmu.


Sudah setahun lebih, saya tidak memperbarui catatan di halaman blog ini. Begitulah waktu, tahu-tahu sudah terlewat satu tahun. 2015 menjadi sepi catatan di dunia maya, tetapi percayalah tetap ada catatan di dunia nyata.

Tetap semangat dan optimis untuk waktu yang akan kau habiskan di masa datang.