Selasa, 18 Oktober 2016

Perlukah merasa diperalat?

Dalam keseharian kita, sering kali kita mendengar perkataan "diperalat oleh orang lain". Bahkan barangkali kita pun sering mengatakan hal yang demikian. Mengapa? Sebab kita mendudukkan diri pada pengakuan di mata manusia. Konon, salah satu kebutuhan manusia adalah merasa dihargai. Boleh jadi kita sebut eksistensi dan apresiasi adalah sifat manusiawi.

Saya pun sepakat untuk ini. Tetapi sering pula eksistensi dan apresiasi itu terlalu mendapat berlebih porsi. Sehingga ia menjadi prioritas manusia yang banyak dicari. Banyak orang yang kemudian berlomba-lomba untuk muncul ke permukaan. Bersiku dan bersusah untuk mendapat posisi dielukan. Pasang kaca mata kuda, egois, saling menjatuhkan, hanya untuk dipandang semua mata dan tepuk tangan. Itukah yang dicari wahai kawan?

Benarlah barangkali, bahwa eksistensi dan apresiasi itu wujud manifestasi kerukunan dalam bersosialisasi. Namun ketika nafsu menunggangi, semua menjadi timpang dalam diri. Yang ada justru dengki dan iri. Itu kan yang saat ini terjadi?

Bukankah seorang hamba yang jelas dipastikan dicintai Sang Pencipta justru manusia yang hampir tak pernah ditanyakan keberadaannya di mata orang?
Bukankah seorang hamba yang dirindukan Rasulullah adalah manusia yang jika tidak hadir dalam suatu majelis ilmu pun tak ditanyakan kabarnya oleh saudara muslim yang lainnya?

Saya termenung memikirkan ini. Bahwa ego yang diboncengi nafsu ternyata berbahaya bagi hati. Sangat berbahaya. Bagai paradoks sebuah koin. Seolah ego itu membakar semangat untuk naik berprestasi, namun sering pula ego itu membawa tabiat buruk yang sering pula tak disadari.

Paling mudah adalah perasaan tadi, "ah aku kok merasa diperalat sih. Disuruh kerja ini itu, tapi tak ada imbasnya yang dikasih." Sangat akrab di telinga kita kalimat-kalimat ini, sebab memang sering pula kita mengucapkannya walau tanpa disadari.

Lalu, bisakah kita menganggap kalimat itu sebagai sinyal bahwa nafsu tengah berusaha membonceng pada sifat manusiawi (eksistensi dan apresiasi) ini?

Bagi seorang muslim, saya berpikir, sebaiknya pikiran 'diperalat' itu harus dienyahkan dari hati. Sebab bertentangan dengan akhlak dan sifat manusia terpuji yang diajarkan Rasulullah, teladan yang hakiki. Bukankah Beliau bersabda, manusia terbaik adalah yang bermanfaat bagi orang lain?
Mengapa harus risau ketika mulai terlihat perasaan 'diperalat' itu? Bukankah yang membalas kebaikan itu adalah Sang Pencipta, bukan dari seseorang yang dianggap 'memperalat' itu?
Maka, perlukah kita menambahkan dalam jiwa muslim kita perasaan 'diperalat' itu?

© alfariski. 5 Okt 2016.
@ perjalanan Awaji - Kitakyushu.