Selasa, 10 Januari 2017

Asos.

Asos.
Saya mendengar pertama kali mungkin di saat masih SMA. Asing memang, panganan opoh kuwi. Asos, adalah singkatan dari anti sosial. Saya tidak tahu apakah istilah itu sudah EYD atau belum, namun ternyata mungkin sudah jadi salah satu label bagi seseorang yang menutup diri dari khalayak, baik disengaja maupun nggak sadar.

Dulu,
saat masih jaman SD, saya bukanlah anak yang suka di rumah. Gatal rasanya jika tangan itu tidak untuk pegang guthik, gatal pula jika kaki itu tidak untuk berlari. Ada saja permainan atau eksplorasi yang dilakukan saat itu bersama kawan-kawan. Bahkan mencuri tebu di sawah sebelah kampung, mengejar belut yang sembunyi di dalam lumpur di bawah teriknya matahari, atau main bola di sejuknya sore. Tidak ada masalah untuk semuanya itu. Jadi, nggak ada yang namanya asos.

Tapi,
semua berubah semenjak saya sekolah di SMP. Yah, walaupun sesekali masih saja sering nongkrong di angkringan tengah kampung. Namun saya pikir, saat itulah saya menjadi asos. Apalagi ketika masuk sekolah di kota saat SMA. Asos di kampung jadi nggak ketulungan. Kegiatan pemuda jarang ikut. Saya pun sebetulnya nggak bersengaja untuk asos. Cuma memang kegiatan di sekolah betul-betul mengasyikkan, sehingga lupa sama yang di rumah. Hehehe.

Namun saat kuliah ini,
saya mulai membaur lagi, ketemu kawan-kawan sepermainan di kampung lagi. Tapi paling pol untuk urusan laden hajatan tetangga. Selebihnya saya tetap tidak bergabung. Soalnya cuma nongki-nongki doang. Saya belum punya ide biar mereka nggak nongkrong saja.

Tentang asos,
saya lebih tertarik untuk asos di media sosial. Percayalah, bahwa saya adalah orang yang kuper dalam media sosial. Sejak jamannya mxit, friendster, lalu ke jaman facebook, twitter. Sampai sekarang ada teknologi Whatsapp, Line, Telegram, Instagram, dan entah apa lagi. Saya pernah punya media sosial hanya facebook, twitter. Tapi semuanya sudah tutup lapak. Hehe... Lagian itu dibikinkan temen juga. Malah ada yang bersedia jadi adminnya.

Saya pun,
akhirnya selektif dalam memilih grup di Whatsapp. Ada beberapa hal yang kemudian menyebabkan saya memutus beberapa grup. Saya keluar dari beberapa grup fundamental. Awalnya berat, tapi pada akhirnya, malah lebih enjoy. Perlahan saya menutup grup-grup dengan cara keluar dari grup tersebut dengan sopan. Sehingga, saat ini saya merasa menjadi orang yang baru. Eh, bukan baru sih, tapi menjadi orang yang hampir seperti dulu saat anak-anak. Dan ini menyenangkan.

#Tapi saya masih berharap bisa ber-whatsapp denganmu. Semoga sesegera mungkin ada alasan agar hal itu tidak lagi berdosa. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar yang sehat